Minggu, 13 November 2016

MAKALAH PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH




           PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH






KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang dengan kasih sayangnya-Nya dan Hidayah-Nya serta nikmat yang Allah SWT berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah FIQIH JINAYAH mata kuliah oleh Bapak ISMARDI,H.M.Ag dengan sebaik-baiknya.
Makalah yang ditulis oleh penulis ini tentunya mempunyai kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menyadari perlunya kritik dan saran dari pembaca, agar makalah ini lebih baik untuk kedepannya. Atas kritik dan sran dari pembaca sekalian penulis mengucapkan terima kasih.
           
                                               
                                                                                    Pekanbaru, April 2016


                                                                                                 Penulis






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kejahatan ada didunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Manusia slalu cenderung menuruti hasrat hawa nafsunya kecuali orang-orang yang beriman yang slalu menjaga hatinya dari sifat-sifat ataupun perkara-perkara yang merugikan dan dilarang dalam syari’at.disisi lain manusia juga mengingiunkan suatu kehidupan yang aman, damai, tentram, dan adil tanpa adanya gangguan-gangguan yang disebabkan karena adanya suatau tindak kejahatan.oleh karena, upaya-upaya untuk meminimalisir tindak kejahatan terus dilakukan yaitu dengan diberikannya hukuman terhadap pelakunya.
Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup  tiga masalah pokok yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian percobaan melakukan jarimah?
2.      Bagaimana pandangan fuqaha tentang percobaan melakukan jarimah?
3.      Apa saja yang termasuk fase-fase melakukan jarimah?
4.       Bagaimana dengan hukuman percobaan?
5.      Bagaimana pula dengan tidak selesainya percobaan jarimah?

BAB II
PEMBAHASAN
1.      PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
1.1. Pengertian Percobaan
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir. Dimana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa nagara atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh pengusa Negara tarsabut, diserahkan pula pada mereka agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat[1].
Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayat) didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission) atau perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.
Definisi kejahatan di atas mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif (komisi) maupun secara pasif (omisi) dihitung sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, kecuali hukuman yang khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat itu telah ditentukan dalam syariat. Jika komisi atau omisi yang ditentukan, maka perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai suatu kejahatan.
Dapat dilihat dari definisi-definisi di atas bahwa konsep kejahatan dalam hukum Barat dan dalam Syariat tidak memiliki perbedaan yang berarti. Namun demikian, ada beberapa perbedaan utama antara teori dan aplikasi hukum pidana Barat dengan hukum pidana Islam, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Perbedaan yang jelas muncul dalam hal sumber hukum, sejarah, terbentuknya, hubungannya dengan moral, tujuan hukum, dan lain-lain.[2]
Para ahli hukum Islam sering menggunakan istilah jinayati untuk kejahatan. Jinayat adalah suatu kata dalam bahasa arab yang berarti setiap kelakuan buruk yang dilakukan oleh seseorang. Kata ini berbentuk infinitif yang digunakan sebagai kata benda dan berasal dari idiom yang berarti “seorang telah melakukan perbuatan jahat pada orang lain”. Kata jinayat sering digunakan dalam arti ini, tetapi dalam istilah hukum berkonotasi suatu perbuatan buruk yang dilarang oleh hukum.
Para ahli hukum menerapkannya pada setiap perbuatan yang dinyatakan melawan hukum oleh syariat, baik dilakukan terhadap hidup dan hak milik seseorang atau terhadap hal lainnya. Tetapi, mayoritas ahli hukum menerapkan istilah janayat ini dalam arti kejahatan yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja. Ahli-ahli hukum lain keberatan jika istilah ini dipakai untuk kejahatan yang dihukum dengan hudud atau qishash.
Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah perbutan aktif atau pasif yang dapat merusak (menganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu, hak milik kehormatan, dan ide-ide yang diterima.
Hukuman ditentukan bagi suatu kejahatan seihingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu, karena dengan semata-mata melarang atau memerintahkan tidak menjamin akan ditaati. Tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa. Dengan hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti. Hukuman-hukuman diberikan status legal untuk kepentingan publik. Sayriat menentukan hukuman, lebih banyak sebagai sarana untuk mencapai kebaikan kolektif dan menjaganya.[3]
Syariat Islam menetapkan perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan mengncamnya dengan hukuman tertentu dengan maksud melindungi kepentingan kolektif dan sistem yang di atasnya bediri bangunan besar masyarakat. Selain itu juga dimaksudkan agar masyarakat dpat menyelamatkan nilai-nilai moral dn kehidupan yang harmoni. Kejahatan atau ketidaktaan seseorang atau seluruh umat manusia tidak menimbulkan bahaya apapun bagi Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah meletakkan ketentuan-ketentuan syariat bagi manusia agar hidup dengannya.

2.      PERCOBAAN DI KALANGAN FUQOHA
Teori tentang  jarimah “percobaan” tidak kita dapati dikalangan fuqoha, bahkan istilah “percobaan” dengan pengertian teknis-yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang “percobaan” sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal.
a.       Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakkan hukum had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir, bagaimanapun juga kasus jarimah itu. Para fuqoha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas d-diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syaratnya tetap tanpa mengalami percobaan, dan hukumnya juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi untuk jarimah-jarimah ta’zir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah ta’zir seperti memaki-maki  (menista orang) atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negera (ulu-al amri) untuk menentukan macam-macamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh Syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah ta’zir bisa mengalami perubahan antara dihukum, dari masa kemasa dan dari tempat ke tempat lain[4], dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan fuqoha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah ta’zir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secar tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir.
b.      Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari Syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu  diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat  (kesalahan) yang tidak dikenakkan hukuman had dan kifarat. Dengan kata lain setiap perbuatan yang dianggap maksiat oleh Syari’at dijatuhi hukuman ta’zir selama tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakkan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta’zir dan percobaan itu sendiri dianggap maksiat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu bagian saja diantara bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau suatu perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk jarimah yang lain lagi.
Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian tertangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksut hendak mencuri, tanpa melobangi dindingnya atau menaiki atapnya, dianggap telah membuat suatu jarimah tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai[5].
Apabila pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan “pencurian” dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakkan hukuman ta’zir sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu yaitu pencurian.
Dari sini jelaslah kepada kita, mengapa para fuqoha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai. Dimana untuk jarimah pada kasus pertama saja dikenakkan hukuman had atau qisas, sedang untuk jarimah pada kasus kedua hanya dikenakkan hukuman ta’zir. Walaupun istilah “percobaan” tidak dikenal oleh mereka, namun apa yang dimaksut dengan istilah tersebut terdapat pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain yaitu jarimah tidak selesai.

3.      FASE-FASE PELAKSANAAN JARIMAH
3.1. Fase Pemikiran dan Perencanaan
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam Syari’at Islam seseorang tidak dapat dituntut (disalahkan) karena ada niat yang tersimpan dalam dirinya. Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari’at Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada akhir abad ke-18 M, yaitu sesudah Revolusi Perancis. Sebelum masa itu, niatan dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan[6]. Pada hukum positif terhadap aturan juga ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakkan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakkan hukuman berat  dari pada hukuman pembunuhan pada kasus kedua.
3.2. Fase Persiapan
Yaitu menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa memerlukan selesainya tujuan  yang hendak dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma’siat, dan ma’siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan dan hak manusia, sedangkan pada penyiapan alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan ini masih bisa dita’wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut syari’at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan pada keyakinan.[7] Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta’zir.
3.3. Fase Pelaksanaan
Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksaan unsur materil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan juga untuk melaksanakan unsur materil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materil masih terdapat beberapa langkah lagi.       
Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukum ta’zir, dan selanjutnya dainggap pula percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari dan membawanya keluar dan sebaginya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa maksiat.[8] Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan ini maksiat atau tidak.

4.      PENDIRIAN HUKUM POSITIF
Pendirian hukum positif sama dengan Syara’tentang tidak adanya hukuman pada fase-fase pemikiran perencanaan dan persiapan, dan pembatasan hukuman pada fase pelaksanaan semata-mata. Akan tetapi dikalangan sarjana-sarjana hukum postif terdapat perbedaan pendapat tentang saat di mana pembuat dianggap telah mulai melaksanakan jarimahnya itu.
4.1. Menurut aliran obyektif (objective leer)
Saat tersebut ialah ketika ia melaksanakan perbuatan materiil yang membentuk sesuatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan saja, maka percobaan untuk jarimah itu ialah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah itu terdiri dari beberapa perbuatan, maka memulai salah satunya dinaggap melakukan perbuatan jarimah. Mengerjakan perbuatan lain yang tidak termasuk dalam rangka pembentukan jarimah tidak dianggap telah mulai melaksanakan. Dengan kata lain, aliran tersebut melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat.
4.2. Menurut aliran subyektif (subjective leer)
 untuk dikatakan melakukan percobaaan cukup apabila pembuat telah memulai suatu pekerjaan apa saja yang mendtangkan perbuatan jarimah itu sendiri. Aliran tersebut memakai niatan dan pribadi pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Dengan perkataan lain, aliran tersebut lebih menkankan kepada subyek, atau niatan pembuat.
Dari perbandingan syariat Islam, ternyata pendirian sayri’at Islam dapat menampung kedua aliran subyektif dan obyektif bersama-sama. Perbuatan yang bisa dihukum menurut aliran subyektif  bisa dihukum pula menurut syari’at Islam. Akan tetapi syari’at Islam syarat, yaitu apabila perbuatan yang dilakukan pembuat bisa di kualifikasikan sebagai perbuatan maksiat (perbutan salah), baik bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang dimkasudka atau tidak, sedang menurut airan subyektif perbuatan yang mulai dikerjakan harus bisa mendatangkan kepada unsur materiilnya jarimah.
Pendirian syari’at juga mirip dengan pendapat yang hidup dikalangan sarjana-sarjana hukum positif. Vos misalnya, berpendapat bahwa pada pokoknya teori subyektif lebih benar daripada teori obyektif, akan tetapi haru diperbaiki dengan rumus , yaitu: perbuatan baru patut dihukum, jika perbuatannya berlawanan dengan hukum, dengan pengertian, bahwa perbuatan itu tidak diperbolehkan (oleh masyarakat atau hukum) berhubung dengan kepentingan hukum yang dikenai oleh jarimah itu.
5.      HUKUMAN PERCOBAAN
Klasifikasi yang paling penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum Islam, yaitu hudud, qishash, dan ta’zir.
5.1. Hudud
 Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali, berkaitan dengan apa yang disebut hak Allah.
Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Dalam definisi ini, hukuman yang ditentukan, berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitasnya ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad), al-baghy (pemberontakan), zina, qadzaf (tuduhan palsu zina, syariqah (pencurian), hirabah (perampokan), dan shurb al khamr (meminum khamar).[9]
5.2. Qishash
Qishash jatuh pada  posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal bertanya. Kejahatan-kejahatan dalam kategori qishash ini kurang serius dibanding yang pertama (hudud), namun lebih berat daripada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri daripada yang  dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes agaist person. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qishash ini.
5.3. Ta’zir
Landasan dan penentuan hukumannya didasarkan pada ijma’(konsensus) berkaitan dengan hak negara muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik, sosial, politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
Menurut aturan syari’at Islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarmah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Aturan tersebut berdasarkan hadist nabi saw:
“Siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang lengkap) maka dia termasuk orang yang menyeleweng”.
Aturan tersebut berlaku untuk jarimah-jarimah hudu dan qishash,  dan qishash termasuk juga hudud, karena hukuman tersebut sudah ditentukan pada jumlahnya.
Sudah barang tentu perbedaan antara antara percobaan melakukan jarimah dengan jarimah itu sendiri masih jauh, dan oleh karena itu sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi hukuman sesuai dengan besarnya perbuatan. Apabila mempersamakan hukuman antara percobaan jarimah dengan jarimah yang selesai akan mendorong pembuat sesuatu jarimah untuk menyelesaikannya sekali, sebab ia akan merasa bahwa dirinya sudah berhak akan hukuman lengkap dengan memulainya perbuatan, oleh karena itu ia tidak perlu mengurungkan perbuatannya itu (percobaannya).[10]
Pada hukuman-hukuman positif sendiri kita dapati sistem pembedaan dan persamaan tersebut meskipun berbeda cara menerapkannya. Pada KUHP Indonesia disebutkan bahwa hukuman percobaan melakukan sesuatu kejahatan diancam dengan maksimum hukuman pokok kejahatan, dengan dikurangi sepertiganya.
Apabila kejahatan itu dapat diancam dengan hukuman mati, maka untuk percobaan dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun (fasal 53, ayat 2 dan 3).
Akan tetapi untuk kejahatan yang telah diselesaikan dan percobaan melakukan kejahatan itu, sama saja hukuman tambahannya (fasal 54, ayat 4). Sebagaimana dimakhlumi, hukuman tambahan tersebut dapat berupa pencabutan sesuatu hak, atau perampasan perang, atau diumumkannya keputusan hakim (fasal 10,b).
Pada KUHP RPA perbedaan hukuman dengan tegas disebutkan, tetapi tentang adanya kesamaan hukuman antara percoban dan jarimah yang telah selesai sangat dimungkinkan yaitu apabila disebutkan pada aturan-aturan pidana yang lain. Fasal 46, KUHP tersebut brbunyi sebagai berikut: percobaan melakukan “jinayat” dijatuhi hukuman-hukuman berikut, kecuali apabila dinyatakan sebaliknya dalam suatu undang-undang, yaitu kerja paksa seumur hidup, apabila hukuman “jinayat” itu adalah hukuman mati, dengn kerja paksa seumur hidup, dengan kerja paksa sementara dalam waktu tidak melebihi separo batas tertinggi yang ditetapkan dalam undang-undang atau dengan penjara dalam waktu yang tidak lebih dari separoh batas tertinggi yang ditetapkan dalam undang-undang, atau kurugan atau denda yang tidak lebih dari lima puluh pound Mesir, jika hukuman “jinayat” tersebut ialah penjara.

6.      TIDAK SELESAINYA PERCOBAAN
Seorang pembuat yang yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya dapat menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalau dapat menyelesaikannya maka sudah sepantasnya la dijatuhi hukuman yang diancamkan terhadap perbuatannya itu. "atau tidak dapat menyelesaikannya, maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendaknya sendiri. Dalam keadaan tidak selesai karena kehendak sendiri, maka adakalanya disebabkan karena la bertaubat dan menyesali semua dan kembali kepada Tuhan, atau disebabkan karena sesuatu diluar taubat dan penyesalan din', misalnya karena kekurangan alas-alas atau khawatir terlihat oleh orang lain, atau hendak mengajak temannya terlebih dahulu.





6.1.Tidak Selesai Melakukan Percobaan Karena Taubat
Perbuatan jarimah yang diturungkan (tidak diselesaikan) adakalanya berupa jarimah "hirabah"[11] (pembegalan/penggarongan) atau jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah hirabah maka perbuatan tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya.
Jadi apabila seseorang berbuat jarimah hirabah sudah menyatakan taubat dan penyesalan, maka hapuslah hukumannya meskipun itu telah melakukan jarimah yang selesai.
Kalau para fuqaha sudah sepakat pendapatnya tentang hapusnya hukuman atas jarimaah hirabah, karena taubat dan penyesalan yang dinyatakan sebelum tertangkap, maka mereka masih memperselisihkan tentang pengaruh taubat dn penyesalan tersebut pada jarimah-jarimah selain hirabah. Dalam halini ada tiga pendapat:

Pendapat pertama
Pendapat pertama dikemukakan oleh beberapa fuqaha dari mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali, yang mengatakan bahwa taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa Qur'an menyatakan hapusnya hukuman hirabah karena taubat, sedangkan hirabah adalah jarimah yang paling berbahaya.

Pendapat kedua
Pendapat ini dikemukakan oleh imam-imam Malik dan Abu Hanifah, serta beberapa fuqaha dikalangan mazhab Syafi'i dan Ahmad. Menurut mereka taubat tidak menghapuskan hukuman kecuali untuk jarimah hirabah rasa yang sudah ada ketentuannya yang jelas. Pada dasarnya taubat tidak dapat menghapuskan hukuman, karena kedudukan hukuman ialah sebagai kifarat ma’siat penebus (kesalahan). Perintah untuk meniatuhkan hukuman kepada orang-orang yang berzina dan mencuri bersifat umum, baik mereka yang bertaubat atau tidak, Rasulullah juga menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas diri seorang yang bernarna "Ma'iz" dan orang wanita dari kampung Ghamidiyyah dan hukuman potong tangan atas diri orang yang mengaku telah mencuri.
Menurut fuqaha-fuqaha tersebut di atas, antara jarimah­-jarimah hirabah dengan jarimah-jarimah lain tidak ada kemiripan yang memungkinkan keduanya untuk dapat dipersamakan. Pada umumnya orang-orang yang melakukan jarimah hirabah terdiri dari sejumlah orang yang mempunyai kekuatan dan tidak mudah dilakukan penangkapan atas mereka.

Pendapat ketiga
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiah serta muridnya yaitu Ibnul Qayyim, dan kedua-duanya termasuk aliranmahzab Hambali. Menurut pendapat kedua ulama tersebut, hukuman dapat membersihkan ma'siat, dan taubat bisa menghapuskan hukuman jarimah jarimah yang berhubungan dengan hak Tuhan, kecuali apabila pembuat sendiri menginginkan penyucian dirinya dengan jalan hukuman.
Menurut pendapat tersebut penghentian pembuat untuk meneruskan perbuatannnya yang merugikan hak Tuhan, yakni hak masyarakat, bisa menghapuskan hukuman. Akan tetapi hapusnya hukuman tersebut tidak berlaku pada jarimah-jarimah yang mengenai hak perseorangan.

7.      PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH MUSTAHIL
Di kalangan fuqaha nampak adanya pembahasan tentang percobaan melakukan "Jarimah mustahil" yang terkenal dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama "oendeug delijk poging" (percobaan tak terkenan = as-syuru’fi aljarimah al-muslahilah), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk melakukannnya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain dengan maksud untuk Membunuh, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal.





BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan hukuman ta’zir
Menurut pandangan fuqaha :
Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta’zir.
Kedua,  khusus untuk percobaan melakukan jarimah tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Fase-Fase Pelaksanaan jarimah:
1.      Fase pemikiran dan perencanaan
2.      Fase persiapan
3.      Fase pelaksanaan
Hukuman percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang belum selesai.
Tidak selesainya percobaan
Kalau tidak adapat menyelesaikannya maka adakalanya karena terpaksa atau karena kehendak dirinya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Makhrus munajat, hukum pidana islam diindonesia,Yogyakarta: teras 2009
Topo Santoso,Membumikan hukum pidana islam,jakarta:Gema insani Press,cet.1,2003
Prof.abdurrahman, tindak pidana dalam syariat islam,Jakarta:rineka cipta, 1992
Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Yogyakarta: Bulan Bintang,1968
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar Grafida 2004
Ahmad almursi husain jauhar maqashid syariah,Jakarta : amzah, 2009




[1] Makhrus munajat, hukum pidana islam diindonesia, (yogyakarta: teras 2009), hal 42
[2] Topo Santoso,Membumikan hukum pidana islam,jakarta:Gema insani Press,cet.1,2003,Hlm.20.
[3] Ibid,Hlm.21
[4] Prof.abdurrahman, tindak pidana dalam syariat islam (Jakarta, rineka cipta, 1992) hlm 14
[5] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal 119-120
[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar Grafida 2004 Hlm. 61
[7] Ahmad Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal 122
[8] Ibid,hal 123

[9] Ibid.Hlm.23
[10] Ibid, hal 126

[11] Ahmad almursi husain jauhar maqashid syariah(jakarta : amzah, 2009) hlm.198

1 komentar: