KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang dengan kasih sayangnya-Nya
dan Hidayah-Nya serta nikmat yang Allah SWT berikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah FIQIH JINAYAH mata kuliah oleh Bapak ISMARDI,H.M.Ag dengan
sebaik-baiknya.
Makalah
yang ditulis oleh penulis ini tentunya mempunyai kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menyadari perlunya kritik dan saran dari
pembaca, agar makalah ini lebih baik untuk kedepannya. Atas kritik dan sran
dari pembaca sekalian penulis mengucapkan terima kasih.
Pekanbaru,
April 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kejahatan ada didunia ini bersama-sama dengan adanya
manusia. Manusia slalu cenderung menuruti hasrat hawa nafsunya kecuali
orang-orang yang beriman yang slalu menjaga hatinya dari sifat-sifat ataupun
perkara-perkara yang merugikan dan dilarang dalam syari’at.disisi lain manusia
juga mengingiunkan suatu kehidupan yang aman, damai, tentram, dan adil tanpa
adanya gangguan-gangguan yang disebabkan karena adanya suatau tindak
kejahatan.oleh karena, upaya-upaya untuk meminimalisir tindak kejahatan terus
dilakukan yaitu dengan diberikannya hukuman terhadap pelakunya.
Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang
namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan
kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur
materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam jarimah
pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa
seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup tiga masalah pokok yaitu
tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan
dan turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya
telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu
dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan
percobaan (الشروع). Disamping itu
perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang
bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan
jarimah (الاءشتراك).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian percobaan melakukan jarimah?
2.
Bagaimana
pandangan fuqaha tentang percobaan melakukan jarimah?
3.
Apa
saja yang termasuk fase-fase melakukan jarimah?
4.
Bagaimana dengan hukuman percobaan?
5.
Bagaimana
pula dengan tidak selesainya percobaan jarimah?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
1.1. Pengertian Percobaan
Percobaan
adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau
janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada
sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan
melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan
hukuman ta’zir. Dimana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa nagara
atau hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang
dilarang langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh pengusa Negara tarsabut,
diserahkan pula pada mereka agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat[1].
Dalam hukum
Islam, kejahatan (jarimah/jinayat) didefinisikan sebagai
larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa
hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang
dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan
demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat.
Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission)
atau perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.
Definisi
kejahatan di atas mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan baik secara aktif
(komisi) maupun secara pasif (omisi) dihitung sebagai suatu kejahatan atau
pelanggaran, kecuali hukuman yang khusus untuk perbuatan atau tidak berbuat itu
telah ditentukan dalam syariat. Jika komisi atau omisi yang ditentukan, maka
perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai suatu kejahatan.
Dapat dilihat
dari definisi-definisi di atas bahwa konsep kejahatan dalam hukum Barat dan
dalam Syariat tidak memiliki perbedaan yang berarti. Namun demikian, ada
beberapa perbedaan utama antara teori dan aplikasi hukum pidana Barat dengan
hukum pidana Islam, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya.
Perbedaan yang jelas muncul dalam hal sumber hukum, sejarah, terbentuknya,
hubungannya dengan moral, tujuan hukum, dan lain-lain.[2]
Para ahli hukum
Islam sering menggunakan istilah jinayati untuk kejahatan. Jinayat adalah
suatu kata dalam bahasa arab yang berarti setiap kelakuan buruk yang dilakukan
oleh seseorang. Kata ini berbentuk infinitif yang digunakan sebagai kata benda
dan berasal dari idiom yang berarti “seorang telah melakukan perbuatan jahat
pada orang lain”. Kata jinayat sering digunakan dalam arti ini, tetapi
dalam istilah hukum berkonotasi suatu perbuatan buruk yang dilarang oleh hukum.
Para ahli hukum
menerapkannya pada setiap perbuatan yang dinyatakan melawan hukum oleh syariat,
baik dilakukan terhadap hidup dan hak milik seseorang atau terhadap hal
lainnya. Tetapi, mayoritas ahli hukum menerapkan istilah janayat ini
dalam arti kejahatan yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti
pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja.
Ahli-ahli hukum lain keberatan jika istilah ini dipakai untuk kejahatan yang
dihukum dengan hudud atau qishash.
Perbuatan-perbuatan
yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah perbutan aktif atau pasif yang dapat
merusak (menganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan
individu, hak milik kehormatan, dan ide-ide yang diterima.
Hukuman
ditentukan bagi suatu kejahatan seihingga orang akan menahan diri dari
melakukan hal itu, karena dengan semata-mata melarang atau memerintahkan tidak
menjamin akan ditaati. Tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya
konsekuensi apa-apa. Dengan hukuman, perintah atau larangan itu akan
diperhitungkan dan memiliki arti. Hukuman-hukuman diberikan status legal untuk
kepentingan publik. Sayriat menentukan hukuman, lebih banyak sebagai sarana
untuk mencapai kebaikan kolektif dan menjaganya.[3]
Syariat Islam
menetapkan perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan mengncamnya dengan hukuman
tertentu dengan maksud melindungi kepentingan kolektif dan sistem yang di
atasnya bediri bangunan besar masyarakat. Selain itu juga dimaksudkan agar
masyarakat dpat menyelamatkan nilai-nilai moral dn kehidupan yang harmoni.
Kejahatan atau ketidaktaan seseorang atau seluruh umat manusia tidak
menimbulkan bahaya apapun bagi Tuhan Yang Mahakuasa, yang telah meletakkan
ketentuan-ketentuan syariat bagi manusia agar hidup dengannya.
2.
PERCOBAAN DI KALANGAN FUQOHA
Teori
tentang jarimah “percobaan” tidak kita
dapati dikalangan fuqoha, bahkan istilah “percobaan” dengan pengertian teknis-yuridis
juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah
pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai.
Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang
“percobaan” sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak adanya perhatian secara
khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal.
a.
Percobaan
melakukan jarimah tidak dikenakkan hukum had atau qisas, melainkan dengan
hukuman ta’zir, bagaimanapun juga kasus jarimah itu. Para fuqoha lebih banyak
memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas d-diyat, karena
unsur-unsur dan syarat-syaratnya tetap tanpa mengalami percobaan, dan hukumnya
juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi
untuk jarimah-jarimah ta’zir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah ta’zir
seperti memaki-maki (menista orang) atau
mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negera
(ulu-al amri) untuk menentukan macam-macamnya jarimah-jarimah itu. Untuk
menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung
oleh Syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula
kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu,
hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak
antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah
ta’zir bisa mengalami perubahan antara dihukum, dari masa kemasa dan dari
tempat ke tempat lain[4], dan unsur-unsurnya juga
dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa
negara. Oleh karena itu dikalangan fuqoha tidak ada perhatian khusus terhadap
jarimah-jarimah ta’zir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secar tersendiri
terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah
ta’zir.
b.
Dengan
adanya aturan-aturan yang mencakup dari Syara’ tentang hukuman jarimah ta’zir,
maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan
atas setiap perbuatan maksiat
(kesalahan) yang tidak dikenakkan hukuman had dan kifarat. Dengan kata
lain setiap perbuatan yang dianggap maksiat oleh Syari’at dijatuhi hukuman
ta’zir selama tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Karena hukuman
had dan kifarat hanya dikenakkan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar
telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang
dilarang hanya dijatuhi hukuman ta’zir dan percobaan itu sendiri dianggap
maksiat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan satu bagian saja
diantara bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama
satu bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau suatu perbuatan
semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain
maka akan membentuk jarimah yang lain lagi.
Pencuri
misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian tertangkap sebelum
sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat
(kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan
permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah
orang lain dengan maksut hendak mencuri, tanpa melobangi dindingnya atau
menaiki atapnya, dianggap telah membuat suatu jarimah tersendiri, meskipun
perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai[5].
Apabila pencuri tersebut dapat
menyelesaikan berbagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat
membawa barang curiannya keluar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut
dinamakan “pencurian” dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman
had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing
perbuatan membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakkan hukuman ta’zir sebab masing-masing
perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu yaitu pencurian.
Dari sini jelaslah kepada kita,
mengapa para fuqoha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan
jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang
telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai. Dimana untuk jarimah pada
kasus pertama saja dikenakkan hukuman had atau qisas, sedang untuk jarimah pada
kasus kedua hanya dikenakkan hukuman ta’zir. Walaupun istilah “percobaan” tidak
dikenal oleh mereka, namun apa yang dimaksut dengan istilah tersebut terdapat
pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain yaitu jarimah tidak
selesai.
3.
FASE-FASE PELAKSANAAN JARIMAH
3.1. Fase Pemikiran dan Perencanaan
Memikirkan dan
merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman,
karena menurut aturan dalam Syari’at Islam seseorang tidak dapat dituntut
(disalahkan) karena ada niat yang tersimpan dalam dirinya. Aturan tersebut
sudah terdapat dalam Syari’at Islam sejak mula-mula diturunkan tanpa mengenal
pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada
akhir abad ke-18 M, yaitu sesudah Revolusi Perancis. Sebelum masa itu, niatan
dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan[6]. Pada hukum positif
terhadap aturan juga ada pengecualiannya.
Sebagai contoh
ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan
biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama
dikenakkan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakkan hukuman
berat dari pada hukuman pembunuhan pada
kasus kedua.
3.2. Fase Persiapan
Yaitu
menyiapkan alat-alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti membeli
senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase
persiapan juga tidak dianggap maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila
perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat seperti hendak
mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat
bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum, tanpa
memerlukan selesainya tujuan yang hendak
dituju, yaitu mencuri.
Alasan untuk
tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan
seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma’siat, dan ma’siat baru
terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan dan hak manusia,
sedangkan pada penyiapan alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu
kerugian, maka anggapan ini masih bisa dita’wilkan, artinya bisa diragukan,
sedang menurut syari’at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya
kecuali apabila didasarkan pada keyakinan.[7] Sehingga peristiwa
dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta’zir.
3.3. Fase Pelaksanaan
Pada fase
inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dihukum,
tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan
pelaksaan unsur materil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila
perbuatan itu berupa maksiat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat
dan hak perseorangan, dan dimaksudkan juga untuk melaksanakan unsur materil,
meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materil masih terdapat beberapa
langkah lagi.
Pada pencurian
misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai
maksiat yang dijatuhi hukum ta’zir, dan selanjutnya dainggap pula percobaan
pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat
perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari lemari
dan membawanya keluar dan sebaginya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang
bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa maksiat.[8] Dalam hal ini niatan dan
tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan ini
maksiat atau tidak.
4.
PENDIRIAN HUKUM POSITIF
Pendirian hukum
positif sama dengan Syara’tentang tidak adanya hukuman pada fase-fase pemikiran
perencanaan dan persiapan, dan pembatasan hukuman pada fase pelaksanaan
semata-mata. Akan tetapi dikalangan sarjana-sarjana hukum postif terdapat
perbedaan pendapat tentang saat di mana pembuat dianggap telah mulai
melaksanakan jarimahnya itu.
4.1. Menurut aliran obyektif (objective
leer)
Saat tersebut
ialah ketika ia melaksanakan perbuatan materiil yang membentuk sesuatu jarimah.
Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan saja, maka percobaan untuk
jarimah itu ialah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah itu terdiri
dari beberapa perbuatan, maka memulai salah satunya dinaggap melakukan
perbuatan jarimah. Mengerjakan perbuatan lain yang tidak termasuk dalam rangka
pembentukan jarimah tidak dianggap telah mulai melaksanakan. Dengan kata lain,
aliran tersebut melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh
pembuat.
4.2. Menurut aliran subyektif
(subjective leer)
untuk dikatakan melakukan percobaaan cukup
apabila pembuat telah memulai suatu pekerjaan apa saja yang mendtangkan
perbuatan jarimah itu sendiri. Aliran tersebut memakai niatan dan pribadi
pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Dengan
perkataan lain, aliran tersebut lebih menkankan kepada subyek, atau niatan
pembuat.
Dari
perbandingan syariat Islam, ternyata pendirian sayri’at Islam dapat menampung
kedua aliran subyektif dan obyektif bersama-sama. Perbuatan yang bisa dihukum
menurut aliran subyektif bisa dihukum
pula menurut syari’at Islam. Akan tetapi syari’at Islam syarat, yaitu apabila
perbuatan yang dilakukan pembuat bisa di kualifikasikan sebagai perbuatan
maksiat (perbutan salah), baik bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang
dimkasudka atau tidak, sedang menurut airan subyektif perbuatan yang mulai
dikerjakan harus bisa mendatangkan kepada unsur materiilnya jarimah.
Pendirian
syari’at juga mirip dengan pendapat yang hidup dikalangan sarjana-sarjana hukum
positif. Vos misalnya, berpendapat bahwa pada pokoknya teori subyektif lebih
benar daripada teori obyektif, akan tetapi haru diperbaiki dengan rumus ,
yaitu: perbuatan baru patut dihukum, jika perbuatannya berlawanan dengan hukum,
dengan pengertian, bahwa perbuatan itu tidak diperbolehkan (oleh masyarakat
atau hukum) berhubung dengan kepentingan hukum yang dikenai oleh jarimah itu.
5.
HUKUMAN PERCOBAAN
Klasifikasi
yang paling penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum Islam, yaitu hudud,
qishash, dan ta’zir.
5.1. Hudud
Kejahatan hudud adalah kejahatan yang
paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap
kepentingan publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud tidak
mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali, berkaitan
dengan apa yang disebut hak Allah.
Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan
sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang
ditentukan sebagai hak Allah. Dalam definisi ini, hukuman yang ditentukan,
berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitasnya ditentukan dan ia tidak
mengenal tingkatan. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong
kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad), al-baghy
(pemberontakan), zina, qadzaf (tuduhan palsu zina, syariqah (pencurian),
hirabah (perampokan), dan shurb al khamr (meminum khamar).[9]
5.2. Qishash
Qishash jatuh pada posisi di
tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal bertanya.
Kejahatan-kejahatan dalam kategori qishash ini kurang serius dibanding yang
pertama (hudud), namun lebih berat daripada yang berikutnya (ta’zir).
Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau
tidak sengaja. Ia terdiri daripada yang
dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia
atau crimes agaist person. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan
menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan
luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qishash ini.
5.3. Ta’zir
Landasan dan penentuan hukumannya didasarkan pada ijma’(konsensus)
berkaitan dengan hak negara muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum
semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik,
sosial, politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara
keseluruhan.
Menurut aturan syari’at Islam, untuk
jarimah-jarimah hudud dan qisas, jarmah-jarimah yang selesai tidak boleh
dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Aturan
tersebut berdasarkan hadist nabi saw:
“Siapa yang mencapai hukuman had bukan pada jarimah hudud (yang
lengkap) maka dia termasuk orang yang menyeleweng”.
Aturan tersebut berlaku untuk jarimah-jarimah hudu dan
qishash, dan qishash termasuk juga
hudud, karena hukuman tersebut sudah ditentukan pada jumlahnya.
Sudah barang tentu
perbedaan antara antara percobaan melakukan jarimah dengan jarimah itu sendiri
masih jauh, dan oleh karena itu sudah sepantasnya kalau pembuat dijatuhi
hukuman sesuai dengan besarnya perbuatan. Apabila mempersamakan hukuman antara
percobaan jarimah dengan jarimah yang selesai akan mendorong pembuat sesuatu
jarimah untuk menyelesaikannya sekali, sebab ia akan merasa bahwa dirinya sudah
berhak akan hukuman lengkap dengan memulainya perbuatan, oleh karena itu ia
tidak perlu mengurungkan perbuatannya itu (percobaannya).[10]
Pada hukuman-hukuman positif sendiri
kita dapati sistem pembedaan dan persamaan tersebut meskipun berbeda cara
menerapkannya. Pada KUHP Indonesia disebutkan bahwa hukuman percobaan melakukan
sesuatu kejahatan diancam dengan maksimum hukuman pokok kejahatan, dengan
dikurangi sepertiganya.
Apabila kejahatan itu dapat diancam
dengan hukuman mati, maka untuk percobaan dijatuhkan hukuman penjara
selama-lamanya lima belas tahun (fasal 53, ayat 2 dan 3).
Akan tetapi untuk kejahatan yang
telah diselesaikan dan percobaan melakukan kejahatan itu, sama saja hukuman
tambahannya (fasal 54, ayat 4). Sebagaimana dimakhlumi, hukuman tambahan
tersebut dapat berupa pencabutan sesuatu hak, atau perampasan perang, atau
diumumkannya keputusan hakim (fasal 10,b).
Pada KUHP RPA perbedaan hukuman
dengan tegas disebutkan, tetapi tentang adanya kesamaan hukuman antara percoban
dan jarimah yang telah selesai sangat dimungkinkan yaitu apabila disebutkan pada
aturan-aturan pidana yang lain. Fasal 46, KUHP tersebut brbunyi sebagai
berikut: percobaan melakukan “jinayat” dijatuhi hukuman-hukuman berikut,
kecuali apabila dinyatakan sebaliknya dalam suatu undang-undang, yaitu kerja
paksa seumur hidup, apabila hukuman “jinayat” itu adalah hukuman mati, dengn
kerja paksa seumur hidup, dengan kerja paksa sementara dalam waktu tidak
melebihi separo batas tertinggi yang ditetapkan dalam undang-undang atau dengan
penjara dalam waktu yang tidak lebih dari separoh batas tertinggi yang
ditetapkan dalam undang-undang, atau kurugan atau denda yang tidak lebih dari
lima puluh pound Mesir, jika hukuman “jinayat” tersebut ialah penjara.
6.
TIDAK SELESAINYA PERCOBAAN
Seorang pembuat yang yang telah memulai perbuatan jarimahnya adakalanya
dapat menyelesaikannya atau tidak dapat menyelesaikannya. Kalau dapat
menyelesaikannya maka sudah sepantasnya la dijatuhi hukuman yang diancamkan
terhadap perbuatannya itu. "atau tidak dapat menyelesaikannya, maka
adakalanya karena terpaksa atau karena kehendaknya sendiri. Dalam keadaan tidak
selesai karena kehendak sendiri, maka adakalanya disebabkan karena la bertaubat
dan menyesali semua dan kembali kepada Tuhan, atau disebabkan karena sesuatu
diluar taubat dan penyesalan din', misalnya karena kekurangan alas-alas atau
khawatir terlihat oleh orang lain, atau hendak mengajak temannya terlebih
dahulu.
6.1.Tidak
Selesai Melakukan Percobaan Karena Taubat
Perbuatan
jarimah yang diturungkan (tidak diselesaikan) adakalanya berupa jarimah
"hirabah"[11]
(pembegalan/penggarongan) atau jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah
hirabah maka perbuatan tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya.
Jadi apabila
seseorang berbuat jarimah hirabah sudah menyatakan taubat dan penyesalan, maka
hapuslah hukumannya meskipun itu telah melakukan jarimah yang selesai.
Kalau para
fuqaha sudah sepakat pendapatnya tentang hapusnya hukuman atas jarimaah
hirabah, karena taubat dan penyesalan yang dinyatakan sebelum tertangkap, maka
mereka masih memperselisihkan tentang pengaruh taubat dn penyesalan tersebut
pada jarimah-jarimah selain hirabah. Dalam halini ada tiga pendapat:
Pendapat pertama
Pendapat
pertama dikemukakan oleh beberapa fuqaha dari mazhab Syafi'i dan mazhab
Hambali, yang mengatakan bahwa taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasan yang
dikemukakannya ialah bahwa Qur'an menyatakan hapusnya hukuman hirabah karena
taubat, sedangkan hirabah adalah jarimah yang paling berbahaya.
Pendapat kedua
Pendapat ini
dikemukakan oleh imam-imam Malik dan Abu Hanifah, serta beberapa fuqaha
dikalangan mazhab Syafi'i dan Ahmad. Menurut mereka taubat tidak menghapuskan
hukuman kecuali untuk jarimah hirabah rasa yang sudah ada ketentuannya yang
jelas. Pada dasarnya taubat tidak dapat menghapuskan hukuman, karena kedudukan
hukuman ialah sebagai kifarat ma’siat penebus (kesalahan). Perintah untuk
meniatuhkan hukuman kepada orang-orang yang berzina dan mencuri bersifat umum,
baik mereka yang bertaubat atau tidak, Rasulullah juga menyuruh melaksanakan
hukuman rajam atas diri seorang yang bernarna "Ma'iz" dan orang
wanita dari kampung Ghamidiyyah dan hukuman potong tangan atas diri orang yang
mengaku telah mencuri.
Menurut fuqaha-fuqaha tersebut di atas, antara jarimah-jarimah hirabah
dengan jarimah-jarimah lain tidak ada kemiripan yang memungkinkan keduanya
untuk dapat dipersamakan. Pada umumnya orang-orang yang melakukan jarimah
hirabah terdiri dari sejumlah orang yang mempunyai kekuatan dan tidak mudah
dilakukan penangkapan atas mereka.
Pendapat ketiga
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu
Taimiah serta muridnya yaitu Ibnul Qayyim, dan kedua-duanya termasuk
aliranmahzab Hambali. Menurut pendapat kedua ulama tersebut, hukuman dapat
membersihkan ma'siat, dan taubat bisa menghapuskan hukuman jarimah jarimah yang
berhubungan dengan hak Tuhan, kecuali apabila pembuat sendiri menginginkan
penyucian dirinya dengan jalan hukuman.
Menurut
pendapat tersebut penghentian pembuat untuk meneruskan perbuatannnya yang
merugikan hak Tuhan, yakni hak masyarakat, bisa menghapuskan hukuman. Akan
tetapi hapusnya hukuman tersebut tidak berlaku pada jarimah-jarimah yang
mengenai hak perseorangan.
7.
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH MUSTAHIL
Di kalangan fuqaha nampak adanya pembahasan tentang percobaan melakukan
"Jarimah mustahil" yang terkenal dikalangan sarjana-sarjana hukum
positif dengan nama "oendeug delijk poging" (percobaan tak terkenan =
as-syuru’fi aljarimah al-muslahilah), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin
terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk melakukannnya tidak
sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain dengan maksud
untuk Membunuh, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada
pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut
tidak meninggal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Percobaan
adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau
janhah ), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada
sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku. Percobaan
melakukan jarimah `tidak dikenakan hukuman had atau qishas, melainkan dengan
hukuman ta’zir
Menurut pandangan fuqaha :
Pertama, percobaan
melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan
hukuman ta’zir.
Kedua, khusus untuk percobaan melakukan jarimah tidak
perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma’siat
(kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.
Fase-Fase Pelaksanaan jarimah:
1.
Fase
pemikiran dan perencanaan
2.
Fase
persiapan
3.
Fase
pelaksanaan
Hukuman percobaan
Menurut aturan syari’at islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan
qisas, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan
jarimah-jarimah yang belum selesai.
Tidak selesainya percobaan
Kalau tidak adapat menyelesaikannya maka adakalanya karena terpaksa
atau karena kehendak dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Makhrus munajat, hukum pidana
islam diindonesia,Yogyakarta: teras 2009
Topo Santoso,Membumikan hukum pidana islam,jakarta:Gema
insani Press,cet.1,2003
Prof.abdurrahman,
tindak pidana dalam syariat islam,Jakarta:rineka cipta, 1992
Ahmad
Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,Yogyakarta: Bulan Bintang,1968
Ahmad
Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar
Grafida 2004
Ahmad
almursi husain jauhar maqashid syariah,Jakarta : amzah, 2009
[1]
Makhrus munajat, hukum pidana
islam diindonesia, (yogyakarta: teras 2009), hal 42
[2] Topo Santoso,Membumikan hukum pidana islam,jakarta:Gema
insani Press,cet.1,2003,Hlm.20.
[3] Ibid,Hlm.21
[4]
Prof.abdurrahman, tindak pidana dalam syariat islam (Jakarta, rineka
cipta, 1992) hlm 14
[5] Ahmad
Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta: Bulan Bintang,1968), hal
119-120
[6]
Ahmad
Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,Jakarta : Sinar
Grafida 2004 Hlm. 61
[7] Ahmad
Hanafi, MA,Asas-Asas Hukum Pidana Islam,(Yogyakarta: Bulan
Bintang,1968), hal 122
[8] Ibid,hal
123
[9] Ibid.Hlm.23
[11] Ahmad
almursi husain jauhar maqashid syariah(jakarta : amzah, 2009) hlm.198
sarannya?
BalasHapus